Minggu, 22 Januari 2012

Tentang Cinta (Part II)


Bismillahirrahmaanirrahim……

                Lagi, kali ini saya menulis tentang cinta di blog ini. Mencoba berbagi dengan buku yang saya baca, masih dengan  judul yang sama serta penulis yang sama. Jalan Cinta Para Pejuang nya Salim A Fillah. Dan  salah satu bab judul di buku ini begitu menyentuh saya, menyadarkan. Kali ini judulnya “Sergapan Rasa Memiliki”.

                Izinkan saya untuk mengulas sebuah pelajaran indah yang bisa kita petik dari seorang sahabat mulia baginda Rasulullah. Salman Al Farisi.

                Salim A Fillah mengisahkan secuil kisahnya, Salman Al Farisi. Kisah itu tentang nya yang kala itu memang sudah waktunya untuk menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya mukminah lagi shalihah pun telah mengambil tempat di sudut hatinya seorang Salman. Bukan sebagai kekasih tentunya. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal yang sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

                Tetapi bagaimanapun, Salman merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukan tempat dia tumbuh serta berkembang menjadi dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia pun berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khitbah. Maka disampaikanlah sebuah niat mulia hati nya itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.

                “Subhanallah…wal hamdulillah…” , girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorangg wanita yang shalihah lagi bertakwa.

                “Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallaahu’ Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli baitnya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putrid Anda untuk dipersuntingnya.” , fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

                “Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, “Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah member isyarat kea rah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

                “Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. “Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

                Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tetapi mengapa Salim A Fillah mengatakannya indah? Karena reaksi Salman. Bayangkanlah sebuah perasaan, dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan pula sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Maka dengarkanlah Salman bicara.

                “Allahu Akbar!”, seru Salman, “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
###

                Allahu Akbar…. Setelah saya membaca kisah Salman di atas. Jujur, saya juga ikut merasakan sedikit apa yang dirasakan Salman pada saat itu. Keterusterangan yang membuat persaaannya tak menentu. Antara terkejut, ironis, tak enak hati serta kerelaan hati. Astaghfirullah… jika saya di posisikan sebagai Salman kala itu maka sebagai manusia biasa saya mengakui itulah hal berat untuk menerima keterusterangan  yang diutarakan ibu dari gadis itu. Gadis shalihah yang telah menempati salah satu sudut relung hati saya. Tetapi saya bukanlah seorang Salman yang dengan gagah serta bijaksananya ia mendengar keterusterangan itu.  Mendengar jawabannya… Subhanallah!

                Salman mengajarkan kita untuk meraih sebuah kesadaran tinggi. Di tengah kecamukan rasa yang tak menentu; malu, sedih, kecewa, merasa salah memilih pengantar, merasa berada di tempat yang salah, negeri yang salah, waktu yang salah dan sebagainya. Ini bukanlah hal yang mudah. Untuk kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari kita bersama belajar kepada Salman. Bahwa cinta tak harus memiliki. Dan sejatimya memang kita sebagai manusia tidak memiliki apapun dalam kehidupan ini. Sekali lagi, Salman mengajarkan kita untuk memiliki sebuah kesadaran yang harus kita munculkan meski di suatu kondisi yang sangat tidak mudah.

                “Sergapan memiliki terkadang sangat memabukkan”, tulisan Salim A Fillah itu menghentak saya. Ya! Ia benar. Sering pula rasa memiliki membuat kita terlupa dan lalai. Terlupa bahwa apa-apa yang kita miliki sekarang adalah sebuah “titipan” atau “pinjaman” dari Allah yang sewaktu-waktu bisa diambilNya kembali. Rasa memiliki melalaikan kita akan sebuah kesadaran bahwa “titipan” atau “pinjaman” itu seutuhnya miliknya. Status kita hanya dipinjami. Ini adalah hal yang tak mudah. Padahal Allah telah memberikan kita bekal serta karuniaNya untuk memanfaatkan sebaik-baiknya “titipanNya” itu. Tetapi sekalli lagi, rasa memiliki memang menjadi sulit untuk ditepis.

                Kembali lagi pada suatu kisah awal yang saya kutip dari buku Salim A Fillah di atas, Salman Al Farisi. Kisahnya menyadarkan saya serta kita semua. Bahwa kita semua adalah milik Allah dan hanya kepadaNya kita akan kembali. Kita tak memiliki suatu hal apapun dalam kehidupan ini. Allah hanya meminjamkannya kepada kita. Maka dengan sahabat paling mesra, suami paling setia, anak-anak yang berbakti, hubungan kita bukanlah hubungan saling memiliki. Allah hanya meminjamkan dia untuk kita dan meminjamkan kita untuknya. Itu saja. Mereka lah perantara-perantara sampainya pesan-pesan cintaNya untuk kita. Sungguh suatu karuniaNya yang begitu besar ketika kita ditakdirkan untuk bersama. Atau pernah bersama. Bersama di jalan cinta para pejuang.

###
                Ada satu hal lagi yang makin menyadarkan saya tentang bahwa kita tak akan pernah memiliki hal apapun di dunia ini. Sebuah lagu dari Peterpan. Judulnya Tak Ada Yang Abadi. Agak kurang nyambung sih sepertinya. Tetapi setidaknya lagu itu menyadarkan saya juga bahwa tak ada yang abadi dalam kehidupan ini. Semua akan terus bergulir seiring dengan berjalannya waktu. Orang-orang yang mencintai kita dan yang kita cintai tak akan selamanya selalu menemani kita. Tak selamanya terus menjaga kita.Saya, Anda, kita semua akan kembali kepada Sang Pemilik kita.  Maka dari itu mari kita kembalikan segala rasa memiliki kita kepada Sang Pemilik Bumi dan Langit ini. Pemilik kita. Penjaga kita. Allah.
Wallahu’alam hissawab…..

Takkan selamanya tanganku mendekapmu
Takkan selamanya raga ini menjagamu
Seperti alunan detak jantungku

Tak bertahan melawan waktu
Dan semua keindahan yang memudar
Atau cinta yang telah hilang

Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi

Biarkan aku bernafas sejenak
Sebelum hilang

Takkan selamanya tanganku mendekapmu
Takkan selamanya raga ini menjagamu

Jiwa yang lama segera pergi
Bersiaplah para pengganti

Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi

1 komentar:

  1. Belajar untuk menghilangkan sergapan rasa memiliki

    Belajar untuk menyadari kita hanya dipinjamkanNya

    Suatu waktu jika DIA ingin mengambil titipanNya

    entah suami, orang tua, anak-anak kita, sahabat

    atau apapun itu....

    bersiaplah...

    maka dari itu, mari belajar untuk berserah

    kepada Sang Pemilik diri... Allah

    Insya Allah. Amin

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung ke Blog Lifelong Learner ini
Untuk mempererat tali silaturrahim, silahkan tinggalkan jejakmu disini agar saya pun bisa berkunjung ke blog anda, salam ^^