Bismillahirrahmaanirrahim……
Lagi, kali ini saya menulis
tentang cinta di blog ini. Mencoba berbagi dengan buku yang saya baca, masih
dengan judul yang sama serta penulis
yang sama. Jalan Cinta Para Pejuang nya Salim A Fillah. Dan salah satu bab judul di buku ini begitu
menyentuh saya, menyadarkan. Kali ini judulnya “Sergapan Rasa Memiliki”.
Izinkan saya untuk mengulas
sebuah pelajaran indah yang bisa kita petik dari seorang sahabat mulia baginda
Rasulullah. Salman Al Farisi.
Salim A Fillah mengisahkan
secuil kisahnya, Salman Al Farisi. Kisah itu tentang nya yang kala itu memang
sudah waktunya untuk menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya mukminah
lagi shalihah pun telah mengambil tempat di sudut hatinya seorang Salman. Bukan
sebagai kekasih tentunya. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa
tepat. Pilihan menurut akal yang sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang
halus, juga ruh yang suci.
Tetapi bagaimanapun, Salman
merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukan
tempat dia tumbuh serta berkembang menjadi dewasa. Madinah memiliki adat, rasa
bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia pun berfikir, melamar
seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang
pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara
untuknya dalam khitbah. Maka disampaikanlah sebuah niat mulia hati nya itu
kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.
“Subhanallah…wal hamdulillah…” , girang Abud Darda’ mendengarnya.
Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup,
beriringanlah kedua shahabat itu menuju rumah di penjuru tengah kota Madinah.
Rumah dari seorangg wanita yang shalihah lagi bertakwa.
“Saya adalah Abud Darda’, dan
ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan
Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia
memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallaahu’ Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya
sebagai ahli baitnya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putrid
Anda untuk dipersuntingnya.” , fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar
yang paling murni.
“Adalah kehormatan bagi kami”,
ucap tuan rumah, “Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan
adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah
yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri
kami.” Tuan rumah member isyarat kea rah hijab yang di belakangnya sang puteri
menanti dengan segala debar hati.
“Maafkan kami atas
keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara
mewakili puterinya. “Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan
mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun
jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama kami telah menyiapkan
jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan
yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada
pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tetapi mengapa Salim
A Fillah mengatakannya indah? Karena reaksi Salman. Bayangkanlah sebuah
perasaan, dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati.
Bayangkan pula sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang
kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya.
Maka dengarkanlah Salman bicara.
“Allahu Akbar!”, seru Salman, “Semua
mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan
aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
###
Allahu Akbar…. Setelah saya
membaca kisah Salman di atas. Jujur, saya juga ikut merasakan sedikit apa yang
dirasakan Salman pada saat itu. Keterusterangan yang membuat persaaannya tak
menentu. Antara terkejut, ironis, tak enak hati serta kerelaan hati.
Astaghfirullah… jika saya di posisikan sebagai Salman kala itu maka sebagai
manusia biasa saya mengakui itulah hal berat untuk menerima keterusterangan yang diutarakan ibu dari gadis itu. Gadis
shalihah yang telah menempati salah satu sudut relung hati saya. Tetapi saya
bukanlah seorang Salman yang dengan gagah serta bijaksananya ia mendengar
keterusterangan itu. Mendengar
jawabannya… Subhanallah!
Salman mengajarkan kita untuk
meraih sebuah kesadaran tinggi. Di tengah kecamukan rasa yang tak menentu;
malu, sedih, kecewa, merasa salah memilih pengantar, merasa berada di tempat
yang salah, negeri yang salah, waktu yang salah dan sebagainya. Ini bukanlah
hal yang mudah. Untuk kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai,
mari kita bersama belajar kepada Salman. Bahwa cinta tak harus memiliki. Dan
sejatimya memang kita sebagai manusia tidak memiliki apapun dalam kehidupan
ini. Sekali lagi, Salman mengajarkan kita untuk memiliki sebuah kesadaran yang
harus kita munculkan meski di suatu kondisi yang sangat tidak mudah.
“Sergapan memiliki terkadang
sangat memabukkan”, tulisan Salim A Fillah itu menghentak saya. Ya! Ia benar.
Sering pula rasa memiliki membuat kita terlupa dan lalai. Terlupa bahwa apa-apa
yang kita miliki sekarang adalah sebuah “titipan” atau “pinjaman” dari Allah
yang sewaktu-waktu bisa diambilNya kembali. Rasa memiliki melalaikan kita akan
sebuah kesadaran bahwa “titipan” atau “pinjaman” itu seutuhnya miliknya. Status
kita hanya dipinjami. Ini adalah hal yang tak mudah. Padahal Allah telah
memberikan kita bekal serta karuniaNya untuk memanfaatkan sebaik-baiknya “titipanNya”
itu. Tetapi sekalli lagi, rasa memiliki memang menjadi sulit untuk ditepis.
Kembali lagi pada suatu kisah
awal yang saya kutip dari buku Salim A Fillah di atas, Salman Al Farisi.
Kisahnya menyadarkan saya serta kita semua. Bahwa kita semua adalah milik Allah
dan hanya kepadaNya kita akan kembali. Kita tak memiliki suatu hal apapun dalam
kehidupan ini. Allah hanya meminjamkannya kepada kita. Maka dengan sahabat
paling mesra, suami paling setia, anak-anak yang berbakti, hubungan kita
bukanlah hubungan saling memiliki. Allah hanya meminjamkan dia untuk kita dan
meminjamkan kita untuknya. Itu saja. Mereka lah perantara-perantara sampainya
pesan-pesan cintaNya untuk kita. Sungguh suatu karuniaNya yang begitu besar
ketika kita ditakdirkan untuk bersama. Atau pernah bersama. Bersama di jalan
cinta para pejuang.
###
Ada satu hal lagi yang makin
menyadarkan saya tentang bahwa kita tak akan pernah memiliki hal apapun di
dunia ini. Sebuah lagu dari Peterpan. Judulnya Tak Ada Yang Abadi. Agak kurang
nyambung sih sepertinya. Tetapi setidaknya lagu itu menyadarkan saya juga bahwa
tak ada yang abadi dalam kehidupan ini. Semua akan terus bergulir seiring
dengan berjalannya waktu. Orang-orang yang mencintai kita dan yang kita cintai
tak akan selamanya selalu menemani kita. Tak selamanya terus menjaga kita.Saya,
Anda, kita semua akan kembali kepada Sang Pemilik kita. Maka dari itu mari kita kembalikan segala rasa
memiliki kita kepada Sang Pemilik Bumi dan Langit ini. Pemilik kita. Penjaga
kita. Allah.
Wallahu’alam hissawab…..
Takkan
selamanya tanganku mendekapmu
Takkan
selamanya raga ini menjagamu
Seperti
alunan detak jantungku
Tak
bertahan melawan waktu
Dan
semua keindahan yang memudar
Atau
cinta yang telah hilang
Tak
ada yang abadi
Tak
ada yang abadi
Tak
ada yang abadi
Tak
ada yang abadi
Biarkan
aku bernafas sejenak
Sebelum
hilang
Takkan
selamanya tanganku mendekapmu
Takkan
selamanya raga ini menjagamu
Jiwa
yang lama segera pergi
Bersiaplah
para pengganti
Tak
ada yang abadi
Tak
ada yang abadi
Tak
ada yang abadi
Tak
ada yang abadi
Belajar untuk menghilangkan sergapan rasa memiliki
BalasHapusBelajar untuk menyadari kita hanya dipinjamkanNya
Suatu waktu jika DIA ingin mengambil titipanNya
entah suami, orang tua, anak-anak kita, sahabat
atau apapun itu....
bersiaplah...
maka dari itu, mari belajar untuk berserah
kepada Sang Pemilik diri... Allah
Insya Allah. Amin